Selasa, Agustus 24

JUST LIKE AN ORDINARY LOVE LETTER

Sayangku,

Aku ingat kali pertama kita berdansa. Saat itu hari hujan. Dan kita berlari-lari di trotoar, mencari terang di restoran. Kau memesan kopi, seperti biasa. Latte. Dan aku lemon tea. Seperti hari-hari sebelumnya. Lalu kau berkata, “Maukah kau berdansa denganku?”. Aku tertawa. Kau pasti bercanda. Aku tak bisa berdansa, kau tahu itu. Tapi kau terus memaksa. Kau menyuruh pelayan memutar sebuah lagu. Tapi aku tak ingat judulnya. Desafinado? Red Rose? Ah, kau tahu aku tak pernah suka musik jazz. Tapi aku berdansa juga, untukmu.

Sayangku,

Aku ingat, setelah berdansa kau melamarku. Indah sekali. Seusai lagu kau berlutut di hadapanku dan mengeluarkan sebuah cincin. Yang ternyata sudah lama tersimpan di sakumu. Yang ternyata sudah jauh-jauh hari kau siapkan untukku. Aku menangis. Aku terharu. Padahal aku pernah berkata, perempuan yang kuat tak boleh menangis. Dan kau pun menertawakanku. Tapi kau tak bisa bohong, aku melihat setitik air bening juga di sudut matamu.

Sayangku,

Kau tahu? Aku masih menyimpan hadiah-hadiah darimu. Bahkan hadiah pertamamu buatku di awal masa pacaran kita. Sebuah dompet koin mungil, kau ingat? Aku gembira sekali waktu itu. Seperti jimat, aku selalu membawanya kemana-mana sampai benda itu usang dan tak karuan bentuknya. Aku juga masih menyimpan karikatur buatanmu. Lalu ada bunga mawar. Botol parfum. Foto. Buku. Semua pemberianmu. Aku memasukkan semuanya ke kotak kecil dan kusimpan baik-baik di bawah ranjangku. Semua masih kusimpan, walaupun usang, kumal dan layu. Karena semua hal kecil itu mengingatkanku pada dirimu.

Sayangku,

Apa kau ingat pertengkaran terbesar kita? Saat itu kau terlambat menjemputku dari kantor. Padahal malam sudah larut. Bus sudah tak banyak yang lewat. Aku sendirian, duduk menunggumu di bangku halaman. Lalu setelah penantian yang terasa sangat panjang, kau datang juga dengan wajah pucat dan mengantuk. Dan kita pun mulai bertengkar, saling teriak. Kau bilang aku benalu. Aku bilang kau bajingan. Maaf sayangku, saat itu aku tak tahu kalau kau baru saja membawa ibumu ke ICU. Aku malah memaksa keluar dari mobilmu, berlari menembus hujan, ratusan meter menuju rumahku. Kemudian aku demam. Tapi kau tak kunjung menjengukku. Baru di hari ketiga kau datang ke rumahku, membawa berita duka dari ibumu.

Sayangku, aku menyesal sekali saat itu...

Sayangku,

Apa kau tahu? Saat ini aku benar-benar merindukanmu. Aku sering sekali memimpikanmu. Aku ingin bertemu. Tapi itu tak mungkin,kan? Pertemuan terakhir kita begitu pahit. Hatiku begitu sakit saat itu. Kau begitu dingin. Kau begitu tenang. Kau begitu diam. Aku hampir putus asa, berteriak, menangis, memaksamu untuk bangun dan membuka mata. Aku lelah, sekencang apapun aku mengguncang-guncang tubuhmu, kau tetap tak bergerak. Padahal aku berharap kau akan bangun dan memelukku dengan hangat. Tapi kau tak bergeming. Dan aku hanya bisa duduk terpekur, menangis pasrah saat perawat menutup seluruh tubuhmu dengan selimut putih. Saat itu aku sadar, kau takkan membuka matamu lagi. Selamanya. Dan sekali lagi aku melanggar prinsipku, bahwa seorang perempuan yang kuat tak boleh menangis.

Sayangku,

Kapan kita terakhir bertemu? Sebulan yang lalu? Atau dua bulan? Ah, aku lupa. Tapi pasti sekarang kau sudah tenang di atas sana. Orang bilang surga itu indah sekali. Bagaimana menurutmu? Kau senang disana? Apa kau masih ingat padaku? Masih, kuharap..

Saat ini aku memakai gaun yang kau pilihkan untukku. Gaun yang rencananya akan kupakai di hari pernikahan kita. Katamu aku tampak anggun memakainya. Dan ternyata kau benar. Aku tampak anggun memakai gaun ini. Kau bisa melihatku dari atas sana, kan?

Sayangku,

Kemarin aku membeli beberapa gram arsenikum. Aku tak tahu kenapa, kemarin sore saat berjalan-jalan tiba-tiba aku terpikir untuk membelinya. Maafkan aku. Aku ingin sekali menyusulmu. Barusan aku meminumnya bersama lemon tea-ku. Beberapa menit lagi. Hanya beberapa menit saja, dan obat itu akan bereaksi. Tunggu aku disana ya, sayang... Aku mohon. Aku benar-benar merindukanmu...

***END***

Rabu, Agustus 18

Fiksi!

Karena hidup adalah potongan-potongan drama, aku ingin menuangkannya dalam sepotong fiksi.
Fiksi yang terkadang berakhir pahit, manis, atau membingungkan.

hahaha, whatever lah..

happy reading all!

teruslah menulis karena kegiatan menulis adalah menulis pesan pada dirimu sendiri di masa depan.


Maaf, Bukan Saya yang Merebut Kekasih Anda tetapi Dia yang Datang kepada Saya

[18 September]

(blip)

Ponselku berkedip sekejap. Ada pesan baru. Dari lelaki itu.

kau sibuk?

Aku tersenyum simpul. Dengan cekatan jariku mengetik: “nope. kau?

tidak juga. mau keluar denganku?

...

Dan disinilah aku malam ini. Duduk disamping lelaki itu, di sebuah kafe di pinggiran kota. Mengobrol berdua, tertawa, berbagi cerita. Hanya itu.

“Kau senang?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum dan menggumam “ya..”

“Aku juga. Terimakasih,”

“Sudah malam. Ayo kita pulang.”

* * *

[7 Juni]

(blip)

“hey baby...”

“jangan panggil baby. aku punya nama.”

“oke. ririn. kau ada waktu malam ini? ”

“memangnya kenapa?”

“aku ingin mengajakmu keluar.”

“fine. tapi tak ada yang cemburu kan?”

“haha. tidak. kujemput jam tujuh.”

[10 Agustus]

Lagi-lagi aku pergi dengannya. Kafe yang sama, bangku yang sama. Ini kali ketiga, aku menghitung dalam hati. Kali ini kami duduk berdampingan dan bukannya berhadapan.

Lelaki itu memandangku sekilas lalu tertawa kecil.

“Ada apa?” tanyaku. “Ada yang lucu?”

“Tidak. ” jawabnya. “Aku sedang menertawakan diriku sendiri. Hanya itu.”

Lelaki itu meneruskan omongannya.

“Tahu tidak? Aku sebenarnya sudah punya kekasih.”

Kali ini aku yang tertawa.

“Aku sudah tahu.” jawabku.

“Kau tidak marah?”

“Tidak. Perempuanmu yang seharusnya marah.”

“Dia tidak tahu.”

“Kalau begitu, habis perkara...”

[11 Agustus]

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menelpon lelaki itu. Setelah ragu-ragu beberapa menit, aku memutuskan untuk menekan tombol dial pada ponselku.

“Hallo?”

“Ririn? Ada apa?”

“Ada yang ingin aku tanyakan padamu. Kenapa kau mengkhianati perempuanmu?”

“Karena dia membosankan. Dia pencemburu.”

“Aku juga pencemburu. Pada kekasihku, paling tidak..”

“Karena itulah aku tidak menjadikanmu kekasih.”

Aku tertawa.

“Kau ini lelaki brengsek...”

“We both like it. Akui saja...”

“Ya. Tapi kenapa tak kau putuskan saja perempuanmu? Toh katamu kau sudah bosan dengannya”

“Aku tak pernah memutuskan sebuah hubungan. Biar dia yang memutusku duluan.”

“Tapi kau tak keberatan bermain di belakang.”

“Ya, aku memang sebrengsek itu.”

* * *

[1 Oktober]

Hey brengsek. I miss u

I miss u too, cantik. Tapi aku sedang sibuk sekarang ini...

What?

Prepare for my wedding ceremony,

Dengan perempuanmu?

Aku akan menikah, tapi tidak dengannya..

Then who?

You.

Jerk. Kau ini lelaki yang paling brengsek yang pernah kukenal!

But we both like it..

Aku menutup telepon dan tersenyum.

***THE END***